Habiburrahman El-Shirazy
Dalam Mihrab Cinta
Sejak itu Syamsul mulai menata hidupnya. la merasa
jika gaji privat ngajinya cukup, maka tidak perlu lagi
mencopet. Dan ia berjanji dalam hati akan mengembalikan
dompet korban-korbannya ke alamatnya masing-masing.
Seminggu empat kali ia mengajar Delia. Dan agar
tidak mengecewakan kala mengajar, ia pergi ke toko buku
untuk membeli beberapa buku cerita anak Islami.
Dongeng-dongeng anak. Buku-buku permainan anak.
Juga psikologi anak. Syamsul berusaha sebisa
mungkin menjadikan Delia keranjingan mengaji.
Tempat ngajinya tidak melulu di ruang belajar Delia. Kadang di taman.
Kadang di masjid. Bahkan terkadang ia ajak jalan pakai
kendaraan dan mencari daerah yang enak untuk mengaji.
Pak Broto senang sekali dengan kemajuan putri
bungsunya itu.
Dari mulut Delia, Syamsul banyak tahu tentang
Silvie. Sebab Delia diajar matematika oleh Silvie.
Dan akhirnya Silvie pun kenal Syamsul. Selain mengajar
Delia, Syamsul mulai mendapat tawaran mengajar anak
yang lain. Ia merasa bisa hidup mandiri dari uang yang
halal. Saat ia merasa ada uang lebih ia langsung
menabung. Dan untuk menambah ilmu serta menguatkan
statusnya, Syamsul masuk kuliah di Institut Ilmu
Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dengan begitu statusnya adalah
mahasiswa. Ia juga berani kredit kendaraan. Karena tanpa
kendaraan ia tidak bisa ke mana-mana.
Suatu ketika selesai mengajar Delia ia bertemu Pak
Heru di masjid. Ayah Silvie itu mengajaknya berbincangbincang.
"O jadi Ustadz Syamsul kenal dengan Burhan
Faishal yang sekarang masih di Pesantren Al Furqon?
Burhan itu calon menantu saya. Dia putra Pak Anwar
pemilik percetakan besar di Pasar Rebo lho nak."
"O ya Pak. Saya kenal sekali dengan dia. Kebetulan
saya dan dia satu pesantren. Tapi benar, Burhan itu calon
menantu Bapak?"
"Benar Ustadz. Malah Nak Burhan sendiri sudah
melamar Silvie."
"Sama keluarganya Pak?"
"Ya baru bicara bilateral dengan saya. Belum dengan
orangtuanya. Tapi dia sudah kasih cincin sama Silvie."
"Agak aneh, yang Bapak maksud Burhan yang ada
tahi lalatnya di jfdatnya?"
"Iya benar."
"Aneh."
"Aneh apa Ustadz?"
"Saya akan memberikan informasi penting. Tapi
Bapak mau bersumpah untuk tidak memberitahukan
jatidiri saya kepada Burhan Pak? Ini demi kebaikan
keluarga Bapak dan keluarga Burhan?"
"Info apa Ustadz?"
"Info penting. Kalau Bapak tidak mau bersumpah
tidak akan saya beritahu."
Pak Heru penasaran. Akhirnya ia mau bersumpah
menuruti syarat Syamsul.
"Baik Pak. Tolong dengar baik-baik. Burhan
memang santri yang cerdas. Tapi menurut saya tidak
cocok, maaf, jadi menantu Bapak. Kasihan Silvie
nantinya."
"Kenapa bisa begitu Ustadz? Ustadz jangan lancang
ya!"
"Sabar dulu Pak. Tunggu saya selesai berbicara.
Setahu saya Burhan Faishal itu sudah serius bertunangan
dengan seorang santriwati namanya Damayanti binti
Ustman. Santriwati asal Tulungagung. Saya tahu persis.
Sayang saya tidak punya foto mereka berdua."
"Ustadz jangan memfitnah dong. Ustadz jangan
main-main ya."
"Begini Pak Heru. Alamat tinggal saya saat ini jelas.
Pak Broto tahu siapa saya. Jadi kalau saya macammacam
Bapak bisa menindak saya. Saya sarankan Pak
Heru langsung membuktikan sendiri. Jangan beritahu
Silvie. Kalau Silvie diberitahu pasti akan telpon atau
SMS Burhan. Dan Burhan akan berusaha menutupi kebenaran.
Saya sarankan Bapak langsung ke Tulungagung.
Ke rumah tunangan Burhan. Saya punya alamatnya.
Baru setelah itu Bapak boleh mengambil keputusan."
"Baik Ustadz. Kata-kata Ustadz saya pegang. Mana
alamatnya."
Syamsul menulis alamat kantor di mana ayah
Damayanti kerja.
"Pak Utsman, ayah Damayanti itu kepala KUA, jadi
mudah mencarinya. Saya juga akan pegang sumpah
Bapak. Ini hanya Bapak yang tahu."
"Baik. Saya akan ke sana secepatnya. Kebetulan saya
harus melihat travel saya di Surabaya."
Dalam hati Syamsul berkata, "Saya tidak memfitnah
Burhan. Saya hanya ingin menyelamatkan Silvie dari
orang licik seperti Burhan. Ampuni saya jika ini salah
wahai Tuhan." Meskipun dia juga mengakui ia melakukan
ini juga karena didorong dendam.
* * *
Hari terus berjalan. Satu minggu kemudian, di suatu
Ahad pagi, Syamsul sedang bincang-bincang dengan Pak
Abbas mengenai kegiatan remaja masjid di dekat
tempat tinggalnya untuk menyambut Ramadhan.
Pak Heru datang. Syamsul kaget. Jangan-jangan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan, hal-hal di luar yang ia perhitungkan.
Syamsul minta waktu pada Pak Abbas untuk
menemui Pak Heru.
"Assalamu'alaikum." Sapa Pak Heru.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa Pak Heru?" Jawab
Syamsul.
Pak Heru malah menangis, "Terima kasih Ustadz.
Terima kasih. Kalau tidak karena info Ustadz mungkin
saya akan menanggung malu besar. Dan anak saya akan
tidak jelas masa depannya."
"Ada apa sebenarnya Pak Heru?"
"Saya sudah ke Tulungagung Ustadz. Saya sudah
bertemu dengan Pak Utsman. Apa yang Ustadz
sampaikan benar. Pak Utsman bercerita panjang lebar
tentang hubungan putrinya dengan Burhan. Sampai
akhirnya, di akhir cerita Pak Utsman menangis.
Karena pertunangan putrinya dengan Burhan itu harus dia
putus karena akhlak Burhan yang ternyata sangat buruk.
Akhir bulan kemarin Burhan dikeluarkan dari pesantren karena
terbukti mencuri. Burhan sekarang sedang disel di Polres
Kediri karena melukai pengurus pesantren dengan senjata
tajam. Saya benar-benar menyesal percaya pada anak
itu. Oleh anak itu saya dirugikan empat puluh juta.
Dia bilang pinjam buat modal usaha buka toko buku di Kediri.
Setelah saya cek toko itu fiktif."
"Saya tidak mengira sejauh itu Burhan tergelincir.
Terus Silvie gimana Pak? Apa dia sudah tahu?"
"Ya. Silvie sudah tahu semuanya. Sebab saya ke
Tulungagung langsung mengajak dia. Dia bersyukur
tahu semuanya. Dan Silvie ingin pura-pura tidak tahu.
Tidak usah berkata apa-apa pada Burhan. Dalam waktu
cepat Burhan pasti bebas dan pasti akan langsung datang.
Setelah keluarga Damayanti memutuskan hubungan,
jelas Burhan akan langsung mengejar Silvie. Saat Burhan
datang itulah Silvie ingin memberinya pelajaran atas
kedustaannya selama ini."
Syamsul hanya manggut-manggut. la merasa dalam
hal itu tidak berhak turut campur. Sekarang dia merasa
lega. la berharap berita yang dibawa Pak Heru benar.
Dengan demikian namanya yang telah hitam di mata
pesantren dan keluarganya kembali pulih.
"Meskipun Burhan itu temanku. Dalam masalah ini
saya tidak bisa ikut campur. Dan saya tidak berhak
berbicara apa-apa. Saya hanya berdoa semoga semuanya
jadi baik." Pelan Syamsul.
"Iya Ustadz benar. Oh ya Ustadz, sekali lagi kami
sekeluarga mengucapkan terima kasih atas informasinya.
Kalau Ustadz ada waktu kapan-kapan setelah mengajar
Delia, Ustadz bisa mampir ke rumah. Sebab ibunya
Silvie ingin memberikan sesuatu pada Ustadz sebagai tanda
terima kasih."
"Sama-sama Pak. Sudah menjadi kewajiban seorang
Muslim untuk saling menjaga dan mengingatkan."
"Saya pamit dulu Ustadz."
"Mari Pak Heru."
"Assalamu 'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Begitu Pak Heru pergi, Syamsul langsung lari ke
wartel untuk memastikan kabar itu. la langsung
menelpon ke Kediri, ke kantor pengurus pesantren. Yang
menerima agaknya Lurah Pondok.
"Ini siapa ya?" tanya Lurah Pondok.
Syamsul malah gantian bertanya,
"Ini Lurah Pondok Pesantren Al Furqon Pagu ya?"
"Iya benar. Ini siapa?"
"Ini alumni pesantren tahun kemarin, Kang. Aku
dengar kabar ada sanrri yang disel di Polres apa benar?"
"Ya benar. Karena dia mencuri dan menyerang
pengurus yang akan meringkusnya."
"Dia itu yang namanya siapa itu, yang berambut
gondrong yang dicurigai banyak orang. Saya kok lupa?"
Syamsul menyelidik.
"O yang berambut gondrong itu namanya Syamsul.
Yang disel bukan dia. Aduh kalau teringat dia kami jadi
merasa sangat berdosa. Dia korban fitnah. Kami masih
ceroboh dulu. Yang dipenjara itu Burhan."
"O ya yang berambut gondrong itu Syamsul ya. Saya
kok lupa. Dia korban fitnah maksudnya bagaimana?"
"Dia korban fitnah perangkap si Burhan. Kami semua
berdosa padanya. Kami ingin minta maaf padanya. Tapi
tidak tahu dia di mana sekarang?"
"Sudah ke keluarganya?"
"Sudah. Kami minta maaf pada mereka.
Keluarganya sangat marah pada kami. Dan keluarganya menyesal,
karena Syamsul sudah lama minggat dari
rumah."
"Minggat dari rumah?"
"Ya. Aduh saya jadi ingin menangis. Betapa
kecerobohan kami telah menyengsarakannya."
"Masya Allah, betapa dahsyat ya dampak fitnah itu."
"Iya benar. Sangatbesar. Makanya fitnah lebih kejam
dari pembunuhan. Oh ya siapa namamu?"
"Namaku Adi, Kang. Gitu dulu Kang ya.
Assalamu'alaikum.
Salam buat Pak Kiai."
la tidak bohong. Nama lengkapnya Syamsul Hadi.
Dan dia mengambil tiga huruf terakhir dari namanya,
yaitu Adi. Padahal ada banyak nama Adi di
pesantrennya.
Lurah Pondok itu pasti tidak mengira kalau dia yang
nelpon. "Biarlah mereka mencariku. Dan akan aku
maafkan jika mau mencium telapak kakiku."
Gumamnya sambil matanya berkaca-kaca mengingat ketika ia
dipukul hingga berdarah-darah. Tangan dan kaki diikat.
Dicacimaki. Digunduli. Dan dikeluarkan dengan sangat
tidak hormat.
Ia juga ingat keluarganya. Nadia pasti sangat
bahagia mendengarnya. Ibu dan ayahnya juga. Tidak
tahu kedua kakaknya. Namun ia tidak akan menelpon
mereka. Ia akan pulang jika telah sukses dan jadi
orang.
Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mandiri.
Dan bisa berhasil. Namun tidak memungkiri ia sangat
rindu pada adiknya itu. Sore itu juga ia memberi kabar
singkat pada adiknya lewat telpon. Begitu adiknya mengangkat
hp ia bertanya,
"Ini Nadia ya?"
Adiknya itu menjawab "Ini siapa ya?"
"Nadia ini aku. Syamsul kakakmu. Kakak memberi
tahu bahwa kakak masih hidup. Kau belajar yang rajin
ya. Agar hidup mulia dan bahagia. Itu saja ya.
Wassalam."
Langsung ia tutup.
* * *
Jam lima sore usai mengajar Delia, Syamsul
menyempatkan diri bertandang ke rumah Pak Heru. Ia
ingin menghormati tawaran Pak Heru. Syamsul
disambut ramah oleh anggota keluarga itu. Bu Heru
menyampaikan banyak terima kasih. Dan banyak
bertanya kepada Syamsul. Di antaranya mengenai asalusul
Syamsul.
"Saya dari Pekalongan Bu. Dari keluarga yang biasabiasa
saja. Tidak ada yang istimewa dari saya dan
keluarga saya. Saya termasuk orang yang terlambat
kuliah. Baru tahun ini saya kuliah. Setelah lulus SMA
saya masuk pesantren." Terang Syamsul. Ia tidak mau
membuka lebih dari itu. Tidak juga bagaimana ia pernah
difitnah Burhan. Juga tidak tentang dompet Silvie yang
ia copet. Hanya dompet Silvie yang belum ia kembalikan.
Ia berniat secepatnya mengembalikan.
"Ini Ustadz sebagai tanda terima kasih. Saya ingin
memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami
ini di bidang travel. Kami punyanya tiket. Kami ingin
memberikan hadiah tiket dan akomodasi umroh kepada
Ustadz, Ramadhan ini."
Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia
teringat dengan program Ramadhan untuk remaja masjid
yang telah ia rancang bersama Pak Abbas. Ia tidak mau
meninggalkannya. Dengan hati berat ia menjawab,
"Bukannya saya menolak, Bu. Sungguh saya ingin
umroh. Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab
penuh mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan
tempat saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa."
Bu Heru kelihatan agak kecewa. Namun segera
tersenyum, "Sebenarnya kami ingin Ustadz berangkat
bersama kami. Kalau memang begitu ya tidak apa-apa.
Nanti kami ganti lain kali yang lebih baik, insya
Allah."
"Ibu tidak usah memaksakan diri. Sudah menjadi
kewajiban kita saling menjaga. Sudah kewajiban saya
untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
semampu saya. Jadi ibu tidak usah repot-repot."
Pembicaraan berlanjut hingga azan Maghrib
berkumandang.
Bakda Maghrib ia pulang. Dan ia kembali teringat
adik dan ibunya di Pekalongan. Ia berdoa semoga mereka
semua dalam keadaan baik. Ia berusaha memaafkan apa
yang telah dilakukan keluarganya padanya.
Termasuk kedua kakaknya yang memperlihatkan rasa tidak
sukanya kepadanya. Ia berharap semuanya jadi baik dan
bahagia. Ia yakin ibunya sekarang pasti ingin
bertemu dengannya. Namun sekali lagi ia menegaskan dalam
hati,
ia belum ingin pulang. Karenanya, agar ibunya tenang
ia akan kirim paket hadiah kejutan.
* * *
Keesokan harinya, ia ke Pasar Ciputat. Mencari dua
jilbab model terbaru. Satu untuk ibunya dan yang satu
untuk Nadia. Ia juga beli kertas kado. Ia bungkus dengan
rapi. Di dalam bungkusan itu ia sertakan sepucuk surat
yane isinya,
---------------------------------------------------------
Assalamu'alaikum wmwb.
Di tengah hiruk piruk dan kerasnya ibu kota
Jakarta, aku kirim doa semoga adikku Nadia, ibuku
dan keluargaku di Pekalongan baik-baik saja dalam
lindungan Allah s.w.t Bersama surat ini saya
kirimkan hadiah Ramadhan untuk ibuku dan
adikku Nadia. Hadiah dari seorang yang belepotan
dosa. Yang hina karena dicampakkan oleh keluarga.
Semoga hadiah ini diterima, karena ini dibeli dari
tetes keringat yang halal. Bukan dari minta-minta
apalagi mencuri, mencopet dan sejenisnya. Mohon
doanya.
Wassalam,
Syamsul
NB: Nadia, wangmu nanti akan kakak kembalikan
lewat wesel secepatnya insya Allah. O ya surat ini
gak usah dibalas karena alamatnya fiktif (Namanya
juga orang gak punya rumah hehe).
----------------------------------------------------------
Keesokan harinya, ia ke Pasar Ciputat. Mencari dua
jilbab model terbaru. Satu untuk ibunya dan yang satu
untuk Nadia. Ia juga beli kertas kado. Ia bungkus dengan
rapi. Di dalam bungkusan itu ia sertakan sepucuk surat
yane isinya,
----------------------------------------------------------
Dik Silvie, maaf dopetnya saya pinjam agak
lama. Sekali lagi maaf ya. Ini saya kembalikan tidak
ada yang kurang malah wangnya saya tambahi lima
puluh ribu. Anggap saja itu sedekah saya. Saya
berharap dengan sedekah pada orang kaya seperti
Anda tetap dapat pahala. Terima kasih dompet Anda
telah menolong saya. Selamat menyambut puasa.
----------------------------------------------------------
Ia merasa lega. Hutang-hutangnya terasa telah
terlunasi. Ia merasa siap memasuki Bulan Suci Ramadhan
dengan jiwa yang lebih mantap dan dada yang lapang.
Besok adalah hari terakhir bulan Sya'ban. Lusanya
sudah puasa.
Selesai mengirim hadiah itu ia kuliah. Dan pulang ke
kontrakan menjelang Ashar. Ia langsung merebahkan
tubuhnya ke kasur tipis yang ia gelar di atas karpet. Ia pasang
beker. Ia pejamkan mata sebentar. Beberapa detik sebelum
azan ia bangun dan ke masjid. Setelah shalat ia langsung
meluncur ke Flamboyan 17, mengajar ngaji Delia.
Selesai member! privat, ia ingin langsung pulang.
Tapi ia dicegat penjaga masjid di jalan.
"Ustadz Syamsul maaf mengganggu. Saya mau
minta tolong. Begini, nanti malam kan pengajian rutin.
Kebetulan temanya menyambut Bulan Suci Ramadhan.
Lha sayangnya Ustadz Farid yang menjadi pembicara
tidak bisa hadir. Tolong Ustadz gantikan ya?" Jelas
penjaga masjid perumahan mewah itu.
"Aduh mendadak banget ya?"
"Tolonglah Ustadz. Kasihan jamaah jika tak ada yang
ngisi."
Ia mengerutkan dahi. Ia sebenarnya sangat capek
dan letih. Juga belum persiapan. Tapi ia teringat bahwa
copet untuk berbuat jahat saja berani nekat, masak untuk
berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab,
"Baiklah saya coba."
Ia tidak jadi pulang. Ia lebih baik langsung ke masjid
saja. Sampai di masjid ia dibuatkan teh hangat oleh
penjaga masjid. Malam itu jadilah ia mengisi ceraman di
masjid yang dihadiri oleh empat ratus orang jamaah. Di
antara jamaah itu ada Pak Broto, Bu Broto, Pak
Heru,
Bu Heru, Silvie dan orang-orang penting penghuni
perumahan mewah itu. Syamsul menjelaskan bagaimana
Rasulullah menyambut Ramadhan dengan persiapan
prima.
"Kita semua juga harus menyambut Ramadhan
dengan penuh rasa cinta, bahagia. Seperti rasanya
seorang kekasih menyambut datangnya kekasihnya."
Katanya memberi perumpamaan.
Para jamaah puas. Di antara jamaah itu ada
seorang Direktur Program Religius sebuah televisi
swasta terkemuka Jakarta. Isi ceramah yang ia
sampaikan agaknya mengetuk kalbunya. Bapak
Direktur itu mengajaknya berbincang-bincang
setelah
ceramah.
"Gaya bahasa Ustadz enak. Diksinya enak. Timbrenya
pas. Bumbunya pas. Isinya mengena. Joke-joke-nya
berkualitas. Ustadz lulusan universitas mana?" tanya
Bapak Direktur.
"Saya masih kuliah Pak. Ini kan karena Ustadz Farid
tidak datang, maka saya dipaksa menggantikan."
"Tapi bagus kok."
Direktur itu lalu menawarkan kepada Syamsul untuk
jadi ustadz di acara ceramah pagi. "Saya lihat Ustadz
cocok. Ya satu dua kali saja selama Bulan Suci
Ramadhan.
Gimana Ustadz?"
"Saya kuatir kalau saya belum pantas Pak."
"Yang menilai kan orang lain Ustadz. Ceramah
Ustadz bagus kok. Kita deal Ustadz ya. Jadwalnya besok
sayaberitahu sekaligus temanya. Bagaimana Ustadz?"
Ia kembali teringatbahwa copet untuk berbuat jahat
saja berani nekat masak untuk berbuat baik tidak berani
nekat. Akhirnya ia menjawab,
"Baiklah saya coba."
" Alhamdulillah."
"Nama saya Doddy Alfad. Ini kartu nama saya."
Syamsul menerima kartu nama itu.
* * *
Sore hari berikutnya, Syamsul kembali ke Perumahan
Villa Gracia. Untuk mengajar Delia dan untuk
menemui Pak Doddy berkenaan dengan ceramah pagi
di stasiun televisi swasta terkemuka. Seperti biasa
Syamsul menunggu di masjid. Sebab janji dengan Pak
Doddy adalah selepas shalat Isya.
Ketika Syamsul sedang berbincang dengan penjaga
masjid, Pak Heru datang. Wajahnya serius.
"Ustadz, keluarga Burhan mau datang ke rumah
setelah Maghrib. Apa Ustadz ikut menemui
mereka?"
Pak Heru memberitahu. Mau tidak mau hati Syamsul
bergetar. Bagaimana tidak, ia diminta untuk menemui
orang yang pernah memfitnahnya.
"Tidak usah Pak. Ikut menemui dalam kapasitas saya
sebagai apa? Kan tidak jelas. Bapak dan keluarga yang
menemui kan sudah cukup." Jawab Syamsul berusaha
tenang.
"Oh ya Ustadz benar. Ya sudah itu saja Ustadz yang
ingin saya sampaikan." Pak Heru lalu kembali
pulang.
Syamsul berkata,
"Lho Pak tidak shalat Maghrib berjamaah di
masjid?"
"Sebentar saya ganti baju dan ambil peci." Sahut Pak
Heru sambil tersenyum.
Syamsul memandang pemilik perusahaan travel itu
dengan tersenyum pula. Syamsul kembali ke ruang
takmir melanjutkan perbincangan dengan penjaga
masjid.
"Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak
bertemu dengan Ustadz?" kata penjaga masjid.
"Berubah bagaimana?"
"Berubah lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid.
Dan sif at pelitnya sedikit berkurang."
"Itu bukan karena bertemu dengan saya Pak. Tapi
memang sudah saatnya berubah. Manusia kan
berproses.
Umar bin Khattab saja untuk jadi baik kan juga
ada prosesnya."
Penjaga masjid itu manggut-manggut.
"Ustadz benar."
Azan Maghrib dikumandangkan dan Syamsul
kembali didaulat jadi imam. Ketika ia meluruskan
barisan ia kaget. Sepintas ia melihat Burhan masuk
masjid diikuti keluarganya. Ia tetap mengendalikan
hati.
Setelah istighfar tiga kali untuk menyucikan dan
menyejukkan hati, barulah ia takbiratul ikhram.
Di rakaat pertama ia membaca Asy Syams dan di
rakaat kedua membaca Az Zilzalah. Ia meneteskan
airmata ketika membaca faman ya'mal mitsqala
dzarratin khairan yarah wa man ya'mal mitsqala
dzarratin syarran yarah.
Selesai shalat dan zikir, Syamsul memberikan
kultum. Ia mengulas dua ayat terakhir surat Az Zilzalah
yang baru saja ia baca. Burhan yang jadi makmum dan
jadi pendengar nyaris tidak percaya dengan yang ia
dengar. Dalam hati ia berkata, "Bagaimana mungkin si
Syamsul yang telah hancur itu bisa jadi penceramah?
Bagaimana ceritanya ia sampai di sini? Apakah dia sudah
tahu perkembangan terbaru yang terjadi di
pesantren?"
Ada sedikit kekuatiran dan kecemasan yang
menyusup
dalam hatinya. "Kalau ia sudah tahu bisa bikin masalah."
Tapi ia menghibur hatinya bahwa pasti Syamsul
tidak
tahu. Dan Syamsul tidak mungkin bertindak bodoh,
sebab ia sedang jadi imam. Kalaupun Syamsul sudah tahu
apa yang terjadi di pesantren, anggapannya, Syamsul
pasti tidak tahu hubungan dirinya dengan Silvie. Putri
Pak Heru yang kaya raya itu.
Selesai kultum Syamsul langsung keluar masjid
dengan tenang. Ia melangkah di samping Burhan. Ia
pura-pura tidak tahu. Burhan berdiri mendekatinya dan
berjalan di sampingnya, membisikkan sesuatu untuk
memancing emosi Syamsul. Bisikan itu hanya
Syamsul yang dengar,
"Hai maling, gimana ceritanya kau bisa jadi imam
di sini? Apa sah shalatnya makmum yang diimami
seorang penjahat? Nanti kalau aku jadi orang sini
sebaiknya kauangkat kaki sebelum diusir dengan tidak
terhormat kedua kali!?"
Bergemuruh dada Syamsul mendengarnya.
Amarahnya membara. Emosinya sudah di ubun-ubun kepala. la
siap membalas dengan serangan yang lebih dahsyat.
Belum sempat ia bicara Delia memanggilnya,
"Ustadz Syamsul... Ustadz Syamsul?"
Suara Delia itu meluruhkan amarahnya.
Menyejukkan hatinya.
"Ada apa Delia?" Jawab Syamsul langsung menengok
ke arah Delia yang berjalan cepat ke arahnya. Ia
tidak memperhatikan Syamsul. Burhan yang masih di
samping Syamsul, ikut memandang Delia.
"Mau minta tanda tangan. Ini tugas dari Bu Guru
agama."
"Oyasini."
Syamsul menerima buku tugas dan pena dari Delia
dan menandatanganinya.
"Sudah?" tanya Syamsul.
"Masih ada satu lagi." Kata Delia. Burhan masih
belum beranjak. Masih memperhatikan.
"Apa?" tanya Syamsul.
"Ada pesan dari Mbak Silvie?"
Syamsul langsung merasa mendapat senjata unruk
menjawab bisikan Burhan yang sungguh menghina.
Untuk lebih menyerang Burhan yang ada di sampingnya
Syamsul pura-pura tanya pada Delia,
"Silvie yang mana?"
"Itu lho Ustadz, Mbak Silvie putrinya Pak Heru.
Yang biasa kasih privat matematika."
Lalu sambil berjongkok, seolah ingin memperhatikan
pesan dengan serius Syamsul melirihkan suara, dengan
bertanya,
"Mbak Silvie yang cantik itu?"
Delia mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Burhan yang mendengar hal itu hatinya terbakar
luar biasa.
"Pesannya apa?" tanya Syamsul sambil mendekatkan
ke telinganya. Burhan didera rasa penasaran
yang luar biasa.
Delia mendekatkan mulutnya dan membisikkan
beberapa kata ke telinga Syamsul. Seketika Syamsul
berkata, "Yang benar?"
"Benar. Delia berani sumpah mati!"
"Ya ya Ustadz percaya. Sampaikan pada Mbak
Silvie: Ustadz juga sama gitu ya?"
"Baik Ustadz. Cihui... Ustadz juga sama... Ustadz
juga sama!" Delia berlari ke arah jamaah putri.
Burhan tidak bisa menyembunyikan cemburunya.
la langsung bertanya pada Syamsul, "Kau kenal Silvie?"
"Maaf itu bukan urusanmu Sobat. Maaf saya
tergesagesa.
Saya harus ngisi di tempat lain."
Syamsul langsung berjalan cepat ke arah sepeda
motornya. la pura-pura sibuk. la nyalakan sepeda
motornya. Sampai di jalan ia teringat janji dengan
Pak Doddy setelah Isya. Ia berpikir langsung saja ke rumah
Pak Doddy. Sementara Burhan masih dibakar
amarah dan cemburu. la ingin cepat-cepat sampai ke rumah Pak
Heru. Dan melampiaskan marahnya pada Silvie. la ingin
menanyakan apa yang disampaikan pada Syamsul itu.
"Awas kau Silvie!"
* * *
Burhan dan keluarganya sampai di rumah Silvie.
Rombongan dua mobil dari Pasar Rebo itu disambut dengan
ramah oleh Pak Heru, Bu Heru, Silvie, Pak Broto dan Mas
Budi, satpam penjaga pintu gerbang perumahan yang
sedang tidak tugas. Mas Budi memakai baju takwa, sebab
bakda shalat Maghrib langsung digandeng Pak Heru.
Silvie bersikap tenang dengan jilbab merah jambunya.
Dalam balutan jilbab mahasiswi ekonomi UI tampak
begitu anggun. Ibunda Burhan memuji kecantikan Silvie.
Dan Silvie hanya tersenyum saja. Dialog dua keluarga
terjadi. Di tengah dialog, Burhan minta waktu pada Silvie
untuk bicara berdua. Burhan ingin melampiaskan
kemarahannya. Tapi dengan halus Silvie menolak.
Burhan tampak kecewa. Pembicaraan terus
berlanjut,
"Sebagaimana Pak Heru ketahui, Burhan dan Silvie
sudah lama saling mengenal. Burhan juga, katanya,
telah
memberikan cincin pengikat kepada Silvie.
Kedatangan
keluarga kami ini ingin menguatkan ikatan itu
secara
resmi. Dalam bahasa transparannya kami ingin
meminang Silvie untuk Burhan." Jelas Ayah Burhan
dengan sangat tenang dan penuh keyakinan.
"Inilah yang kami tunggu-tunggu." Jawab Pak Heru
tenang. Burhan mendengar hal itu dengan
kebahagiaan
yang sulit digambarkan.
Namun Pak Heru melanjutkan, "Sebenarnya saya
dan keluarga ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja
ternyata kami didahului. Keluarga Pak Anwar lebih
dulu
datang. Kami senang dengan kedatangan ini.
Karena
Pak Anwar memakai bahasa transparan. Maka saya
juga
akan menjawab dengan bahasa transparan. Dengan
segala kerendahan hati saya selaku ayah Silvie
menyampaikan.
Saya tidak bisa menerima lamaran Pak Anwar
untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang
semoga
kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf
jika
keputusan ini kurang berkenan."
Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan
kepalang.
"Apa saya tidak salah dengar Pak?!" seru Burhan
spontan sambil berdiri. Karena yang berbicara
Burhan,
Silvie langsung menukas, "Tidak!"
"Apa?!" Burhan mengulang dengan sedikit lebih
keras.
"Apa telingamu bermasalah, Bung. Ayahku cukup
berbicara satu kali. Tak perlu diulang. Ini cincin
dustamu
itu saya kembalikan! Dasar santri bajingan!" Darah
muda
Silvie bergolak. la yang biasanya berbicara lembut
saat
itu amarahnya meledak.
Pak Anwar yang sebenarnya marah mencoba
meredakan suasana yang sama sekali jauh dari yang
ia
bayangkan itu.
"Sebentar-sebentar, masalah sebenarnya apa?
Kenapa Pak Heru menolak. Tolong bisa dijelaskan.
Mari
kita berdialog dengan kepala dingin. Mungkin ada
salah
paham."
"Saya ingin Pak Anwar menerima dan menghargai
keputusan kami. Meskipun tanpa alasan sama sekali.
Toh
sebenarnya antara Silvie dan Burhan tak ada ikatan
apa-apa
secara agama. Saya tidak perlu menjelaskan. Kiranya
Pak Anwar pasti sudah mengerti alasan kami. Kalau
kami
menjelaskan nanti malah semakin tidak enak."
Jawab
Pak Heru tenang.
"Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan.
Tolong jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak
diterima
karena Silvie sudah tidak layak bagi saya!" tukas
Burhan.
"Burhan, kalau bicara yang sopan! Silvie sudah tidak
layak bagaimana? Apa maksudmu?" seru Pak Anwar,
ayah Burhan.
"Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie
sudah hamil dengan pria lain misalnya?"
Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak
tertahankan,
"Tutup mulutmu, Bajingan! Aku sudah tahu siapa
kamu? Kau tak lebih dari sampah busuk!
Dikeluarkan
dari pesantren karena mencuri dan memfitnah
orang!
Dipenjara karena melukai orang. Penipu ulung,
mana
modal empat puluh juta yang kaupinjam untuk toko
bukumu itu. Toko buku fiktif. Terus bagaimana
dengan
Dalmayanti? Setelah kau ditolak di Tulungagung
kau
lari ke sini. Jika sampah itu telah dibuang dari
pesantren
dan tidak diterima di mana-mana apa kami harus
menerima. Bukankah lebih baik sampah itu
didaurulang
dulu agar berguna. Kalian ini ingin dihormati tapi
tidak
bisa menghormati. Dan kau Pak Anwar, sudah tahu
anaknya sampah masih juga tidak tahu diri!
Mungkin kalian tidak percaya yang saya sampaikan!
Masih ingin
bukti? Ini!"
Silvie melempar Koran. Koran itu mcnggeletak di
meja. Ada sebuah judul yang tertera jeas:
DIPENJARA
KARENA KEJAHATAN DI PESANTREN. Dan
terpampang
jelas foto Burhan yang gundul. Melihat hal itu
Pak Anwar dan isterinya langsung pucat pasi.
Mereka
sangat malu.
"Hei, Maling, apa kaukira bisa menipu kami bahwa
gundulmu itu karena umroh, bukan karena
digunduli di
pesantren!"
Kata-kata Silvie sangat mengguncang Burhan. la
tidak kuasa menahan amarahnya.
"Kurang ajar kau! Berani menghina aku ya!"
Dan., plak!
Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie.
Kejadian
itu sungguh tidak diduga. Burhan kembali Ingin
menghajar Silvie. Namun Mas Budi cepat bertindak.
la
segera mengatasi Burhan. Burhan melawan, tapi
Mas
Budi yang jago karate itu dengan mudah
melumpuhkannya.
Mulut Silvie berdarah. Sambil meringis ia berkata,
"Saya tidak terima. Ini harus diproses hukum!"
Pak Anwar, dengan berlinang airmata berkata
terbata, "Nak Silvie, Pak Heru dan Bu Heru maafkan
kami. Sungguh kami sangat terpukul.Baru kali ini
kami
tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan anak kami.
Selama ini kami percaya penuh padanya. Kami
memang
kurang kontrol dan terlalu memanjakannya. Saya
tidak tahu dengan apa yang telah diperbuatnya
sampai dia
dikeluarkan dari pesantren dan dipenjara. Saya juga
tidak
tahu perihal penipuannya. Maafkan kami. Tapi
tolong
jangan laporkan Burhan ke polisi. Saya minta..."
Silvie menggeleng.
"Tindak kejahatan harus diproses oleh hukum!"
Silvie lalu minta Mas Budi mengamankan Burhan.
Burhan langsung digelandang ke pos satpam. Di
pos
satpam, Burhan diberi pelajaran tambahan oleh dua
orang satpam.
Keluarga Burhan pulang dengan membawa malu
luar biasa. Seorang lelaki berjas abu-abu berkata
pada
Pak Anwar dengan kesal bercampur marah, "Saya
sangat malu pada Pak Heru. Pak Heru itu teman
baik
saya di SMA. Saya jadi tahu kenapa tadi Pak Heru
pura-pura tidak kenal saya. Itu gara-gara ternyata
saya
mengantar seorang penjahat ke rumahnya.
Mengantar
seorang penjahat untuk melamar anaknya. Saya malu
Pak Anwar! Sejak sekarang hubungan bisnis kita
putus!"
Ketika polisi datang mengambil Burhan dari pos
satpam, di saat yang sama Syamsul mengambil
jadwalnya dari Pak Doddy dan ia meneken kontrak
tayang di televis. Tanda tangannya bersanding
dengan
tanda tangan orang penting di stasiun televisi itu.
Angin yang bertiup spoi-spoi seolah mengalunkan
firman Allah, faman ya'mal mitsqala dzarratin
khairan
yarah zva man ya'mal mitsqala dzarratin syarran
yarah.
****
Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya
dengan penuh bahagia. Syamsul sibuk dengan
jadwalnya:
mendampingi kegiatan remaja masjid, imam
tarawih, privat, kuliah, ceramah, dan shooting
ceramah
di televisi.
Ia muncul di televisi dua kali selama Ramadhan.
Tanggal 9 Ramadhan dan tanggal 27 Ramadhan. Ia
mempersiapkan ceramahnya dengan sungguh-
sungguh.
Ia ajak remaja masjid untuk menyertainya latihan.
Seolah-olah di studio. Mereka sebagai audiens nya.
Ia
minta masukan dan kritikan. Sampai menemukan
bentuk dan performa terbaik.
Tanggal 8 Ramadhan ia menelpon Nadia adiknya.
Ia meminta untuk nonton ceramah pagidi stasiun
televisi
Ajam D. "Jangan sampai tidak nonton. Kakak ikut
dalam
pengajian itu. Ia tidak mengatakan sebagai
pembicaranya.
Beritahu ayah, ibu dan kakak ya."
Ia juga menelpon pesantrennya. Kepada kurah
Pesantren ia bilang,
"Kang tolong besok seluruh santri nonton ceramah
pagi distasiun televisi A jam D. Pengisinya seorang
Ustadz
muda alumnus pesantren kita. Jangan lupa
sampaikan
pada Pak Kiai." Ia tidak bilang itu dirinya. la masih
mengaku sebagai Adi. Seperti di telpon sebelumnya.
Pada hari H, ia tampil dengan sangat prima di
televisi. Ceramahnya hidup. Direktur Program dan
para
kru televisi memuji. Di Pekalongan, adiknya Nadia,
ibunya, ayahnya dan kedua kakaknya menangis.
Demikian juga di pesantrennya.
Di Flamboyan 19 Silvie menyaksikan dengan hati
penuh cinta. Tanpa sadar, ia berucap, "Orang
seperti ini
yang kudamba. Sederhana. Rendah hati. Namun
penuh
potensi!" Kata-kata Silvie itu didengar dengan baik
oleh
Pak Heru dan Bu Heru.
"Baiklah kita datangi Ustadz Syamsul nanti sore
sebelum kita terlambat. Semoga dia belum punya
calon."
Kata Pak Heru menukas.
Silvie terkesiap mendengarnya. Lalu hatinya
berbuhga-bunga. Ia mengamini doa ayahnya. Dalam
hati ia berharap di Bulan Suci Ramadhan ini ia
mendapatkan cinta sejatinya. Sejenak pikirannya
berkelebat, teringat pada pesan sebuah buku yang
pernah
dibacanya, "Cinta adalah sesuatu yang
menakjubkan.
Kamu tidak perlu mengambilnya dari seseorang
untuk
memberikannya kepada orang lain. Kamu selalu
memilikinya lebih dari cukup untuk diberikan
kepada
orang lain." Silvie teringat pesan itu. Ia ingin
memberikan
cintanya kepada Ustadz Syamsul. Karena ia yakin, ia
benar-benar memiliki cinta untuk diberikan kepada
Ustadz Syamsul, ustadz idaman yang kini memenuhi
ruang hatinya.
* * *
Sidang pembaca yang dirahmati oleh Allah Swt.
Bagaimanakah kisah cinta Silvie dan Syamsul
selanjutnya? Akankah Syamsul menerima lamaran si
Silvie? Bagaimanakah kehidupan Syamsul
selanjutnya?
Akankah ia makin sukses di kehidupannya
mendatang?
Dan Bagaimanakah kelanjutan cerita Syamsul
seleng-kapnya? Bagaimana sikap keluarga dan
pesantrennya
yang dulu mengusirnya? Temukan saja jawabannya
di
edisi romannya: DALAM MIHRAB CINTA, yang
semoga
bisa segera diluncurkan. Mudah-mudahan Allah
memberikan kekuatan kepada kita semua untuk
beramal
kebaikan di dunia ini untuk bekal kelak di akhirat
nanti:
faman ya'mal mitsqala dzarratin khairaii yarah wa
man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah.
Candiwesi, Salatiga-Pesantren Basmala,
Semarang-Malaya University, Malaysia,
17 Agustus 2006 - 27 Desember 2006.
No comments:
Post a Comment