Habiburrahman El-Shirazy
Siang itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah
Pagu, Kediri, Jawa Timur geger. Pengurus Bagian
Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini
mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri
berambut gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta
ampun.
"Ampun, tolong jangan pukul saya. Saya tidak
mencuri!" Santri yang mukanya sudahberdarah-darah
itu mengiba.
"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!"
Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah
sangat geram.
"Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambut
Gondrong itu tetap tidak mau mengaku.
Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya.
"Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan
yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong
mengaduh lalu pingsan.
* * *
Menjelang Ashar, si Rambut Gondrong siuman. la
dikunci di gudang pesantren yang dijaga beberapa santri.
Kedua tangan dan kakinya terikat. Airmatanya meleleh.
la meratapi nasibnya. Seluruh tubuhnya sakit. la merasa
kematian telah berada di depan mata.
Di luar gudang para santri ramai berkumpul. Mereka
meneriakkan kemarahan dan kegeraman.
"Maling jangan diberi ampun!"
"Hajar saja maling gondrong itu sampai mampus!"
"Wong maling kok ngaku-ngaku santri. Ini kurang
ajar. Tak bisa diampuni!"
la menangis mendengar itu semua. Sepuluh menit
kemudian pintu gudang terbuka. la sangat ketakutan.
Tanpa ia sadari ia kencing di celana karena saking takutnya.
Para santri yang didera kemarahan meluap hendak
menerobos masuk. Tapi Lurah Pondok menahan mereka
dengan sekuat tenaga. Pak Kiai, pengasuh pesantren
masuk dengan wajah dingin. Beliau diikuti empat
pengurus. Satu di antaranya Ketua Bagian Keamanan.
Lampu gudang dinyalakan. Pintu gudang lalu
ditutup oleh Lurah Pondok. Pak Kiai berdiri tepat di
hadapannya. Empat pengurus dan Lurah Pondok
mengambil posisi mengelilingi si Gondrong.
"Ini Pak Kiai pencuri yang selama ini menjarah
barang-barang para santri. Baru tadi siang ditangkap
basah oleh Bagian Keamanan." Ketua Bagian Keamanan
membuka pengadilan.
"Siapa namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah
santri putra ada seribu lima ratus santri, Pak Kiai tidak
hafal nama semua santrinya.
Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul...
Syamsul Hadi, Pak Kiai."
"Nama yang sangat bagus. Benar kamu yang
mencuri?"
Syamsul menggelengkan kepala. Ketua Keamanan
marah,
"Dia,memang orangnya sangat bandel Pak Kiai.
Dia tidak mau mengaku, tapi kami menangkap basah
dia sedang membuka lemari si Burhan di kamar 17
Pak Kiai. Di kamar 17 sudah dua orang kehilangan
uang. Saat itu kamar sepi, kami yang memang
memasang orang di atas eternit melihatnya membuka
lemari Burhan."
"Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak
Kiai pelan.
"Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri."
"Lantas untuk apa?!!" bentak Ketua Bagian Keamanan
garang.
"Karena saya diminta untuk mengambilkan uang
oleh Burhan Pak Kiai." Jawab Syamsul.
"Hmm...Burhan ada?" tanya Pak Kiai sambil
melihat Ketua Bagian Keamanan.
Ada, Pak Kiai."
"Dia tahu kalau si Syamsul tertangkap karena
membuka lemarinya?"
"Tahu Pak Kiai."
Pak Kiai manggut-manggut dan mengerutkan dahi.
"Panggil Burhan kemari!" pinta Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai."
Ketua Bagian Keamanan lalu bergegas keluar.
* * *
Syamsul berharap Burhan mau menjelaskan semuanya.
Namun dalam hati ia bertanya-tanya, Burhan tahu
kalau dirinya tertangkap kenapa tidak menjelaskan
semuanya. Apa karena Burhan takut pada amarah para
santri. Atau...? Ia tidak bisa banyak memprediksi.
Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Ia berharap di hadapan
Pak Kiai, Burhan menjelaskan bahwa ia memang diminta
Burhan mengambilkan uangnya. Dengan penjelasan
Burhan itu ia berharap namanya dibersihkan dan semua
santri yang telah berlaku aniaya padanya diberi
hukuman, paling tidak harus minta maaf.
Burhan datang dengan wajah sedikit pucat. Namun
masih tampak tenang. Ia sama sekali tidak memandang
Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan.
"Burhan ke sini!" pinta Pak Kiai.
Burhan mendekat.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi? Kenapa Syamsul
diadili dan kenapa kau dibawa kemari?" lanjut Pak Kiai.
"Iya Pak Kiai."
"Kau harus jujur. Karena kejujuran mendatangkan
kebaikan. Dan kedustaan mendatangkan petaka.
Syamsul ini mengaku bahwa kau memintanya mengambilkan
uangmu di lemarimu, apa benar?"
Syamsul menunggu jawaban yang akan keluar dari
mulut temannya itu. Ia berharap temannya itu jujur,
mengatakan yang sebenarnya. Dengan suara bergetar
Burhan menjawab, "Ti...tidak benar Pak Kiai!"
Syamsul kaget bagai disambar geledek. Dengan
penuh amarah dia berteriak,
"Teganya kau Bur... Kau santri atau bajingan?!
Dancok kau Bur!"
"Diam kau maling! Kau yang jelas bajingan bukan
Burhan!" bentak Bagian Keamanan.
"Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak
Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta
saya mengambilkan uangnya untuk beli baju dan
mentraktir saya. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa
saya jika saya berdusta!" Syamsul bersumpah dengan
suara lantang. Kedua matanya menyala seperti mata
elang.
Pak Kiai agak kaget. Beliau langsung memandang
Burhan,
"Burhan karena Syamsul sudah berani bersumpah.
Kau harus berani juga bersumpah bahwa apa yang
kaukatakan benar. Jika tidak maka kau bersalah. Kau
akan dapat hukuman atas kedustaanmu. Sebab
kedustaanmu itu telah mencelakakan orang lain."
Dengan tenang Burhan menjawab, "Penjahat akan
melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak
Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja
saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga
segala laknat Allah menimpa saya."
Saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan
mengatakan yang dimaksud dengan kata-katanya
"bahwa yang baru saja saya katakan benar" adalah
perkataannya "penjahat akan melakukan apa saja untuk
menutupi kejahatannya" bukan yang lain. Tak ada yang
tahu hal itu kecuali Burhan. Syamsul meneteskan
airmata. Hatinya sangat sakit. Rasa sakit hatinya melebihi
seluruh sakit di sekujur tubuhnya yang berdarah-darah.
"Baiklah, semuanya lebih jelas. Untuk memutuskan
siapa yang sesungguhnya harus dihukum, silakan
pengurus bermusyawarah. Dan sekalian tentukan
hukuman yang paling bijak." Kata Pak Kiai sambil
memandang wajah para pengurus. Lalu beliau pergi.
Setelah Pak Kiai pergi, Syamsul berteriak-teriak
marah. Andai kedua tangan dan kakinya tidak diikat
tentu ia akan mengamuk.
"Burhan, kaulah bajingan paling jahat! Kau tega
memfitnah temanmu! Ingat Burhan, Allah tidak tuli! Allah
tidak tidur!"
Burhan menjawab tenang sambil memandang ke
Lurah Pondok, "Penjahat ulung itu bisa berakting yang
canggih!"
Burhan lalu pergi. Para pengurus juga meninggalkan
gudang. Mereka menuju kantor untuk rapat. Akhirnya
diputuskan, Syamsul dihukum gundul dan kemudian
dikeluarkan dari pesantren.
Pengurus bergerak cepat. Lurah Pondok menelpon
ayah Syamsul, seorang pengusaha batik sukses di
Pekalongan. Yang lain menyiapkan acara eksekusi
penggundulan. Keputusan rapat pengurus itu ditulis
resmi. Diketik rapi. Ditandatangani oleh Lurah Pondok,
Sekretaris Pondok, Ketua Bagian Keamanan, dan
Pengasuh Pondok Pesantren.
Sore itu juga Syamsul diambil dari gudang. Di
halaman pondok telah disiapkan kursi yang diletakkan
di tengah garis melingkar. Syamsul digiring dan
didudukkan di kursi itu. Para santri menyaksikan
eksekusi penggundulan itu dari luar garis. Bagian
Keamanan membacakan hasil keputusan:
"...dengan ini diputuskan bahwa Saudara Syamsul
Hadi terbukti bersalah melakukan kejahatan pencurian
yang dilarang agama dan melanggar tata tertib pesantren.
Karenanya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari
pesantren, dengan sebelumnya dihukum takzir yaitu
digundul untuk dijadikan pelajaran bagi santri yang lain."
Para santri bersorak sorai. Kata-kata sumpah serapah
keluar menghujat Syamsul. Syamsul benar-benar sangat
terpukul. Ketika gunting bagian keamanan mulai
mencowel-cowel rambut kepalanya ia menangis. Sepuluh
menit kemudian eksekusi itu selesai. Syamsul dibawa lagi
ke dalam gudang. Dua orang pengurus membawa
seember air dan menyuruhnya mandi. Ikatan di tangan
dan di kakinya dilepas. Semua barang Syamsul telah
dikemas rapi dan diletakkan di gudang.
Jam sebelas malam orangtua Syamsul datang. Pak
Kiai menemui di ruang tamu pesantren. Syamsul berikut
barang-barangnya dihadirkan. Pak Kiai dan Lurah
Pondok menjelaskan semuanya.
"Maafkan kami, Pak. Inilah tata tertib yang telah kita
sepakati bersama. Syamsul terbukti mencuri maka harus
dikeluarkan." Kata Lurah Pondok santun.
"Kita mengenal wejangan orangtua kita dulu, jika
ada satu rayap di kapal maka harus segera dibuang. Kalau
tidak rayap itu bisa menjadi banyak, menggerogoti kapal
dan bisa menenggelamkan kapal serta membinasakan
seluruh penumpangnya. Itulah yang saat ini kami
lakukan. Rayap itu harus dibuang..." Ketua Bagian
Keamanan menimpal.
"Saya berharap, ini jadi pelajaran bagi Syamsul. Dan
setelah ini Syamsul berubah. Saya melihat Syamsul ini
punya potensi untuk baik dan maju." Kata Pak Kiai
bijaksana.
Ayah Syamsul, Pak Bambang, sangat malu dan
marah. Di ruang itu juga ia menampar anaknya berkalikali,
"Anak tak tahu diri! Apa masih kurang Papa
memberimu uang saku dan lain sebagainya. Kurang
uang tinggal minta, kenapa malah maling!"
Plak! Plak! Plak!
Syamsul meringis. Ia diam saja. Ia merasa tak ada
gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuanya jika
sampai di rumah nanti. Namanya memang telah rusak.
Ia benar-benar hancur di pesantren itu. Tapi ia berharap
tidak hancur di tempat lain.
Sebelum ia meninggalkan ruangan itu ia tegakkan
kepala dan berkata setenang mungkin, "Pak Kiai,
Panjenengan sudah melakukan tindakan zalim dengan
memperlakukan saya seperti ini. Panjenengan belum
melakukan tabayun yang sesungguhnya. Dan kalian
para pengurus yang memutuskan hukuman untuk saya
dengan semena-mena, dengar baik-baik, kalian telah
melakukan dosa besar! Kesalahan besar! Ini hak adami.
Suatu saat kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa
yang salah. Kalian akan tahu kelak siapa sebenarnya
rayap itu. Dan aku tidak akan memaafkan dosa kalian
semua kecuali kalian mencium telapak kakiku!"
Mendengar hal itu Ketua Bagian Keamanan hanya
geleng-geleng kepala. Pak Kiai tersentak, ada keraguan
berbalut kekuatiran menyusup dalam hatinya, namun
diam saja.
* * *
Sampai di rumah ia ternyata juga menemukan hal
yang sama. Ia menegaskan bahwa ia terfitnah. Ia tidak
pernah mencuri di pesantren. Namun penjelasannya itu
tidak bisa diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Kemarahan ayahnya juga tidak reda. Kedua kakak dan
ibunya lebih percaya pada keputusan pesantren.
"Sudah lebih baik kau mengakui dosamu itu dan
bertaubat. Sesali perbuatanmu itu dan jangan keras
kepala!" Kakak sulungnya yang sudah punya dua anak
itu marah.
Hanya adiknya, Nadia, yang tidak berkomentar.
Nadia lebih merasa iba pada kondisi kakaknya.
"Apa tidak sebaiknya dibawa ke dokter untuk
diobatkan Ma. Kasihan Kak Syamsul." Kata Nadia.
Pak Bambang langsung menyahut garang, "Kita
tidak perlu kasihan sama maling. Biar dia rasakan akibat
kejahatannya!"
Tak ada yang berani membantah. Bu Bambang
masih tampak marah. Rasa marahnya saat itu mengalahkan
rasa kasihan pada anaknya itu.
Syamsul istirahat di kamarnya dengan mata
berkaca-kaca. Jika keluarga sudah tidak lagi percaya
padanya. Apalah arti hidup di dunia ini.
Nadia masuk ke kamarnya membawa peralatan
P3K. la bersihkan luka-luka kakaknya dengan air
mineral, lalu dengan rivanol. Setelah itu ia oleskan
Betadine.
"Apakah kau juga tidak percaya bahwa aku tidak
mencuri, Nadia?" Tanya Syamsul.
Nadia diam. Tidak menjawab.
"Jawab Nadia, aku butuh seseorang yang menguatkan
aku. Aku bisa gila!" Seru Syamsul serak.
"Sudahlah, Kak. Jangan bahas itu lagi. Yang penting
kakak sembuh dulu. Nadia akan rawat kakak. Kakak
jangan kecil hati, selama Allah bersama kakak, maka
kakak jangan takut bahwa semua manusia memusuhi
kakak."
"Jadi kau percaya bahwa bukan aku pencurinya?
Kau percaya penjelasanku, Nadia."
"Itu tidak penting, Kak. Saya ingin kakak berubah
lebih baik. Dan Nadia akan selalu menganggap Kak
Syamsul adalah kakak Nadia."
Syamsul kecewa. Nadia pun tidak juga mempercayainya.
------------------------------
Assalamu'alaikum,
Adikku Nadia, maafkan kakak. kakak merasa tak ada yang bisa lagi kakak lakukan kecuali pergi. Apalah arti hidup ini jika keluarga sendiri sudah tidak lagi percaya kepada kakak. Kakak tidak tahuharus berbuat apa lagi agar kalian percaya bahwa kakak bukanlah maling.
Adikku Nadia, maafkan Kakak. Kakak pinjam dulu wangmu dua ratus lima puluh ribu di kamarmu. Sekali lagi kakak sampaikan kakak pinjam dulu. Sebab kakak tidak punya wang sama sekali. Kalau kau mahu tape recorder kakak di kamar bisa kaujual untuk mengganti. Jika tidak, maka suatu saat insya Allah kakak kembalikan.
Adikku Nadia, kakak tidak tahu apakah kakak akan jadilebih baik sesuai harapanmu. Ataukah kakak akan jadi lebih buruk. Bahkan kakak tidak tahujika nasib akhirnya mengharuskan jadi pencuri beneran. Seperti yang kalian yakini saat ini.
Adikku Nadia, ketahuilah, dan sampaikanlah kepada ayah, ibu dan kedua kakak kita, jika kakak akhirnya jadi pencuri maka sebenarnya yang membuat kakak jadi pencuri adalah kalian.Keluarga kakak sendiri. Karena kalian percaya kakak adalah seorang maling, seorang pencuri.
Adikku Nadia, maafkan seluruh dosa kakak. Juga sampaikan permohonan maaf kepada keluarga. Kakak tidak tahu akan kembali apa tidak. Yang jelas kakak akan mencari daerah yang tidak mengenal kakak sebagai maling, pencuri. Sedih dan sakit rasanya jika kakak terus disebut maling, pencuri.
Tak usah diharap kakak pulang. Kalau kalian mendengar kakak mati pun jangan datang menjenguk. Sebab kakak memang tidak pantas untuk jadi anggota keluarga Haji Bambang Hardjono, B.A. Pengusaha Batik Paling Kaya dan Paling Terhormat di Pekalongan.
Salam kakakmu,
Syamsul Hadi
------------------------------------------------------------
Nadia membaca surat dari kakaknya itu dengan
airmata bercucuran. la langsung berteriak-teriak
memanggil Mamanya. Sang Mama datang tergopohgopoh,
begitu membaca surat itu rasa keibuannya terbit.
la pun menangis. Namun Sang Ayah dan kedua kakak
Nadia malah geram dan marah.
"Kita harus cari Syamsul, Pa. Kelihatannya dia
memang tidak bersalah. Kita harus berdiri bersama anak
kita, Pa." Kata Bu Bambang.
"Iya, Pa. Kita bisa minta polisi mengusut kasus di
pesantren itu. Kalau Kak Syamsul tidak bersalah kan
berarti dia dianiaya." Tambah Nadia.
"Kalian ini, dasar perempuan, baru membaca surat
gombal kayak gitu saja berubah. Itu hanya akting si
Syamsul. Aku sudah tidak percaya lagi sama anak
brengsek itu!" Jawab Pak Bambang marah.
"Kita lihat saja dulu perkembangannya. Paling dua
hari lagi Syamsul juga pulang." Sahut kakak pertama.
"Iya Syamsul telah memilih jalannya. Dia sudah
dewasa. Sudah lulus SMA. Biarkan ini semua jadi
pembelajaran baginya." Imbuh kakak kedua.
Jika sudah demikian Bu Bambang dan Nadia tidak
bisa berbuat apa-apa. Hanya saja dalam hati Bu
Bambang berdoa semoga Syamsul anaknya baik-baik
saja, dan mau pulang kembali.
* * *
Sudah satu minggu Syamsul pergi. la mengelana di
Kota Semarang. Tidur dari masjid ke masjid. Makan
seadanya. Dengan berbekal ijazah SMA ia melamar
pekerjaan dari kantor ke kantor, pabrik ke pabrik, tapi
belum juga diterima. Sebab semua pabrik mensyaratkan
ada keterangan surat kelakuan baik dari kelurahan.
Berarti ia harus pulang. Dan itu yang tidak mau ia
lakukan.
Ia sudah berusaha mencari kerja, tapi tak juga dapat.
Akhirnya timbul dalam pikirannya, mungkin jalannya
untuk makan adalah dengan mencuri, mencopet dan
menjambret. Ia masih maju mundur melakukan hal itu.
Akhirnya ia nekat. Ia naik bus mini warna kuning jurusan
Mangkang-Penggaron. Sampai di Jrakah ia melakukan
aksi perdananya. Mencopet.
Dan.. .naas!
Korbannya waspada. la ketahuan. la langsung
lompat dari bus. Bus berhenti. Semua orang berterikteriak,
"Copet, copet!" Orang yang mendengar hal itu
langsung berlarian mengejarnya. la lari ke arah Ngaliyan.
Terus berlari. Sampai dekatkampus dua IAIN Walisongo,
ia tertangkap. la babak belur dihakimi massa. Untung
ada patroli polisi. Nyawanya diselamatkan oleh polisi.
Berita tertangkapnya dirinya di Ngaliyan masuk
koran terkemuka di Jawa Tengah, Suara Mahardika. Juga
masuk berita televisi. Untung ia tidak bawa KTP. KTP
dan semua barangnya ia titipkan pada seorang takmir
masjid tua di dekat Pasar Bulu. Ia mengaku bernama
Burhan. Dari Jakarta.
Keluarganya di Pekalongan membaca isi koran dan
melihat berita itu. Mereka tersentak. Bu Bambang
menangis, "Ia benar-benar jadi pencuri!"
Pak Bambang dan kedua kakaknya mengatakan,
"Sudahlah ia kita ikhlaskan. Untung dia memakai nama
samaran, jadi tidak mencemarkan nama keluarga."
Hanya Nadia yang tidak percaya.
"Saya yakin copet itu bukan Kak Syamsul. Itu orang
lain yang mirip Kak Syamsul," kata Nadia.
"Kamu itu masih bau kencur. Tahu apa masalah
dunia kriminal, Nadia!" Sengit kakak kedua.
Nadia tidak bisa menjawab. Dalam hati ia ingin
membuktikan bahwa anggapannya benar.
* * *
Sejak itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang
Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapida yang
tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua narapidana
itu mengajaknya untuk bergabung dalam
komplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut
jadi bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik
mencuri sepeda motor yang canggih. Juga trik-trik
mencuri rumah orang kaya.
"Di daerah Papandayan dan Candi, Semarang atas,
banyak rumah mewah. Jika kita berhasil menggasak satu
rumah saja. Kita bisa kaya mendadak." Kata napi
berkumis tebal.
Ia lalu diberi tahu peta daerah-daerah strategis untuk
beroperasi. Ia masihbimbangbagaimana meneruskan
hidup. Ia teringat cita-citanya. Ingin jadi mubaligh
ternama sekaligus pengusaha Muslim yang berhasil.
Maka setelah lulus SMA ia minta masuk pesantren sambil
kuliah. Ia memilih pesantren di Kediri. Waktu di SMA
memang ia agak nakal. Tapi dalam hati terkecil, citacitanya
adalah jadi mubaligh.
Dan kejadian di pesantren itu mengubah segalanya.
Ia teringat Burhan. Anak pengusaha dari Jakarta itulah
sumber petakanya. Ia dijebak Burhan, saat pesantren
sedang panas oleh kejadian beberapa pencurian. Uang
santri hilang. Ia jadi kambing hitam. Dan kini ia benarbenar
mendekam jadi pencuri.
Sudah satu minggu ia dipenjara. Ia mulai bosan.
Napi berkumis tebal berkata padanya,
"Kau tenang saja Bur. Minggu depan bos kami akan
datang. Dia akan menebus kami. Kau akan kami
usahakan ikut ditebus. Tapi konsekuensinya, kau harus
ikut memperkuat kami."
Ia mengangguk. Jika itu benar-benar terjadi, ia
memang benar-benar akan masuk di dunia hitam. Ia
berdoa semoga ada mukjizat yang mengeluarkannya
dari penjara. Tapi ia tidak bisa mengelak dari kejahatannya
mencopet. Ia diputuskan mendekam di sel selama
enam bulan. Satu bulan pertama ia akan menjalaninya
di Polsek Tugu. Dan ada kemungkinan dipindah ke
Penjara Kedungpane.
Siang itu ia baru saja menyantap jatahnya makan
siang. Seorang polisi datang dan membawanya keluar.
Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab. Hatinya
berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam
hatinya. Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini
adiknya tahu ia benar-benar seorang kriminil.
"Nadia!" Serunya pada adiknya.
Nadia menoleh ke arahnya. Kaget. Tidak percaya.
"Kau.. .kaubukanKakSs.. .s..." Nadia gagap tidak
percaya.
"Tenang. Aku kakakmu, Nadia."
Nadia menggeleng-gelengkan kepala dan menangis.
"Tidak.. .tidak.. .tidak, Kak!"
"Tenang Nadia, beri kesempatan aku bercerita. Mari
kitabicara dengan tenang."
Nadia duduk tenang. Airmatanya bercucuran.
"Kau sendirian, Nadia?"
Nadia mengangguk.
"Keluarga semua baik?"
Nadia kembali mengangguk.
"Apa mereka sudah tahu aku disel?"
"Begitu membaca koran Suara Mahardika dan
menonton berita di televisi mereka semua yakin yang
tertangkap adalah kakak, meskipun memakai nama
Burhan. Hanya aku yang tidak percaya, maka aku
kemari. Ternyata dugaanku salah. Kakak memang
seorang penjahat!"
Syamsul menangis.
"Maafkan aku Nadia. Demi Allah ini yang pertama
kali aku lakukan. Dan aku berharap yang terakhir
kalinya." Syamsul lalu menjelaskan perjalanan hidupnya
sejak pergi dari rumah sampai kehabisan uang. Dan
kejadian di Ngaliyan itu.
"Tolonglah aku, Adikku."
Nadia diam. Rasa kasihannya keluar setelah
mendengar cerita kakaknya.
"Hanya kau yang kuharapkan, Adikku.Tolonglah!"
"Bagaimana aku bisa menolongmu Kak?"
"Tebuslah aku biar aku bisa keluar dari sini."
"Berapa Kak?"
"Kau bawa kartu ATM?"
"Iya."
"Isinya berapa?"
"Tiga juta."
"Baik. Biar aku negosiasi dengan polisi dulu. Baru
kauambil uang di ATM ya."
"Baik Kak."
la lalu bernegosiasi dengan polisi. Karena ia sudah
belajar cara negosiasi dengan polisi, maka urusannya
mudah. Apalagi ia menyebut seorang nama yang ia
dapat dari kedua napi itu. Nama itu dikenal sebagai
beking para kriminal. Akhirnya ia bisa keluar dari penjara
dengan menebus cuma duajuta lima ratus.
Ia berterima kasih kepada adiknya. Dan ketika
adiknya mengajaknya pulang, ia tidak mau.
"Mereka pasti sudah tidak sudi melihat mukaku."
"Tenang, Kak. Mereka akan Nadia yakinkan bahwa
yang dipenjara itu bukan kakak. Tapi Burhan. Orang
yang mirip kakak. Mereka kan tidak tahu kalau kakak
sudahbebas. Kakak bilang saja tidak pernah dipenjara.
Nadia tidak akan membocorkan hal ini pada mereka.
la tetap tidak mau. Nadia memberinya uang lima
ratus ribu, lalu kembali ke Pekalongan dengan perasaan
sedih. Syamsulberharap akan menemukan cahaya yang
terang dalam hidupnya.
105
Syamsul merasa tidak bisa bertahan di Semarang.
la ingin mengadu nasib yang lebih baik di tempat lain.
Maka dengan bus ekonomi ia nekat pergi ke Jakarta
setelah mengambil barang-barangnya di masjid dekat
PasarBulu.
Sampai di Jakarta ia tak tahu harus berbuat apa. Ia
tiba di Lebak Bulus pagi buta. Bingung mau ke mana.
Setelah shalat Subuh ia berjalan-jalan di terminal melihatlihat.
Ia merasa karena terlanjur nekat maka ia harus
nekat. Akhirnya ia nekat naik angkot jurusan Parung. Ia
ingin mencari masjid. Ia ingin tinggal di masjid.
Sampai di Parung ia turun, lalu berjalan kaki mencari
masjid. Bertemu dengan sebuah masjid ia utarakan
keinginannya untuk tinggal.
"Mungkin saya bisa bantu-bantu menjaga dan
membersihkan masjid. Kebetulan saya dulu dari
pesantren." Katanya pada orang yang ada di masjid.
"Maaf Dik, kebetulan sudah ada yang tinggal di sini.
Dua orang malah. Juga dari pesantren. Sekarang sedang
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Maaf kami tidak
nambah orang."
la kecewa. Berkali-kali ia temukan masjid. la
utarakan niatnya. Dan jawabannya mirip: tidak
menerima tambahan orang. Di masjid yang terakhir, saat
itu menjelang Ashar, dan dia sangat kelelahan, takmir
masjid menyarankan agar dia mengontrak rumah saja.
"Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal di
masjid. Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau
kami perlu bantuan, Adik, kami bisa panggil Adik. Kalau
tinggal di masjid tidak bisa. Kamarnya cuma satu dan
telah ditempati Pak Ali, imam masjid ini, bersama isteri
dan anaknya. Gimana Dik? Nanti saya bantu cari yang
murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?"
Pada bapak yang halus budi itu, ia tidak berani
berdusta,
"Nama saya Syamsul Pak."
"Ya jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Oh ya nama
saya Abbas. Panggil saja Pak Abbas. Kebetulan saya
Ketua RT 2 di perumahan ini."
Akhirnya ia ikut saran Bapak itu. Ia mendapatkan
rumah satu kamar. Sewa per tahunnya dua juta. Ia
menggigitbibir.
"Saya cuma punya empat ratus ribu, Pak."
"Baik. Pemilik rumah ini mengatakan katanya bisa
dicicil empat kali. Sekali cicil berarti lima ratus ribu. Kamu
ada empat ratus, bagaimana kalau yang seratus ribu saya
usahakan. Adik bisa bayar kapan saja adik ada. Tapi
cicilan selanjutnya adik usaha sendiri."
"Saya pinjam tiga ratus ya Pak. Biar saya ada
pegangan bulan ini."
"Oboleh."
Jadilah ia menyewa rumah. Sejak hari itu ia tinggal
di sebuah perumahan tak jauh dari Parung. Ia mulai kenal
dengan masyarakat. Namun sudah satu bulan ia belum
juga dapat kerjaan. Uang pegangannya tinggal lima kali
makan. Ia bingung. Ia hams berbuat apa. Cicilan rumah
bulan depan juga belum ada. Akhirnya ia berkata pada
diri sendiri, "Aku haras nekat. Minta belas kasihan orang
itu mental pecundang!"
Hari itu ia naik anggot ke Lebak Bulus. Lalu naik
Kopaja yang sesak penumpang. Ia nekat mengamalkan
'ilmu' yang didapat dari dua napi saat ia dipenjara.
Berhasil! Seorang cewekberambutkeriting jadi korban.
Ia lalu beroperasi di bus yang lain. Berhasil! Seorang ibuibu
setengah baya berpakaian modis jadi korban.
"Kalau mencopet jangan terlalu tamak. Sehari dapat
dua itu bagus. Yang ketiga dan keempat biasanya hilang
konsentrasi." Ia teringat kata-kata napi berkumis tebal.
Ia merasa harus pulang. Sampai di kontrakan ia Wrung
hasil jarahannya.
Dari dompet cewek keriting cuma lima puluh ribu.
Tapi ada kartu ATM-nya. Dari dompet ibu-ibu setengah
baya modis, lumayan, enam ratus ribu. Semuanya
serarus ribuan, enam. Ada KTP dan SIM-nya. Ia ambil
uang itu, ia masukkan ke dalam dompetnya. Sementara
dompet korbannya ia simpan di laci almari.
Meskipun diliputi rasa berdosa ia merasa lebih
tenang. Malam harinya ia pergi ke pemilik rumah nyicil
kontrakan. Hari berikutnya ia melakukan hal yang sama.
Dapat cuma satu korban. Ia pulang. Ia tak mau ambil
risiko. Korbannya kali ini seorang cewek berjilbab modis,
kelihatannya mahasiswi. Ya, mahasiswi setelah ia lihat
ada kartu mahasiswanya. Cantik juga, katanya dalam
hati ketika melihat fotonya. Ada foto yang lain. Foto
mahasiswi itu dengan seorang pria. Mungkin pacarnya,
gumamnya. Ia terkesiap.
"Tunggu, agaknya aku kenal dengan lelaki ini."
Katanya. Ia amati dengan seksama, "Benar. Ini si Bajingan
Burhan itu. 0 jadi ini pacar atau calon isterinya yang
lain." Ia semakin yakin ketika membaca tulisan di balik
foto berukuran 6x8 itu.
"Silvie bersama Mas Burhan di Sby."
Ia tersenyum. Ia penasaran. Ia lihat KTP cewek itu.
"Ini saatnya perhitunganku berlaku." Ia ingat Burhan
sudah serius dengan Dalmayanti, santriwati dari
Tulungagung. Putri seorang kepala KUA. "Burhan ini
benar-benar buaya! Tidak bisa dibiarkan!"
Setelah mengambil uang dan KTP dari dompet
korbannya ia melangkah keluar sambil menenteng tas
ranselnya. Sekalian shalat Ashar ia hendak pinjam
kendaraan pada Pak Abbas. Ia ingin mencari alamat yang
ada di KTP itu yang kelihatannya tidak jauh dari tempat
ia tinggal. Cewek itu ringgal di Villa Gratia, Parung bagian
timur. Sementara dirinya ada di Parung bagian barat.
Bakda Ashar ia meluncur dengan sepeda motor Pak
Abbas. Tak lama ia temukan Villa Gratia itu. Perumahan
elite. Pintu masuknya dijaga satpam. Ia tak jadi masuk.
Ia terus saja jalan. Ia harus berpenampilan yang tidak
mencurigakan. Ia teringat di ranselnya ada kopiah putih
yang biasa ia pakai kalau shalat. Ia pakai kopiah itu baru
pakai helm. Ia lihat alamat rumah cewek itu. Jl.
Flamboyan 19. Ia tersenyum. Ia sudah mantap menghadapi
satpam. Ia kembali ke Villa Gratia.
Ketika mau masuk satpam menghentikannya. Ia
lepas helmnya, sehingga tampak ia pakai kopiah.
Seketika satpam bersikap lebih ramah.
"Mau ke mana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?" tanya
satpam itu.
Ia tersenyum dalam hati. "Baru pakai kopiah saja
langsung dipanggil ustadz. Wah boleh juga ini, aku
ternyata bakat jadi ustadz juga." Batinnya.
"Mm. Saya mau ke Flamboyan 17." Jawabnya
mantap. Sengaja ia tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat
pada nasihat napi berkumis tebal, "Jangan pernah
mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada siapapun
saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab
pertanyaan."
"O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si Kecil Dela itu
sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat
ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Kata
satpam itu.
"Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang
mencari guru ngaji bisa bilang saya ya." Ia tersenyum.
"Ya, insya Allah, Ustadz, tapi komisinynya, Ustadz."
"Beres, Pak."
Ia lalu masuk dengan tenang. Rumah-rumah di
perumahan itu mewah semua. Seperti istana. Ia masuk
Jalan Flamboyan. Rumah bernomor 19, luar biasa besar.
Dalam hati ia berkata, "Si Burhan bajingan itu beruntung
punya mertua tajir begird." Ia lalu mencari masjid.
Ketemu masjidnya juga mewah dan bagus. Ia teringat
kata-kata satpam tadi, "Jadi si Kecil Dela itu sudah mau
ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz,
padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Ia tersenyum.
Ia berharap Pak Broto belum menemukan guru
ngaji. Ia merasa harus nekat. "Mau nyopet aja perlu
nekat, masak mau ngajar ngaji tidak nekat. Tak ada
salahnya tho copet ngajar ngaji biar dosanya terhapus
dikit-dikit." Batinnya dalam hati.
Lalu dengan mantap ia memarkir sepeda motornya
di depan rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencetbel.
Seorang pembantu wanita agak tua membuka pintu.
"Oh, Pak Ustadz. Mau ketemu siapa?"
"Pak Broto ada, Bu?"
"Ada. Silakan masuk Pak Ustadz."
Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki
gemuk bersarung dan berbaju koko keluar.
"Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya Pak
Ustadz?" Pak Broto merasa kenal.
"Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto.
Gini Pak Broto langsung saja, ada yang memberitahu
saya, katanya Pak Broto perlu guru pri vat ngaji untuk si
Kecil Delia. Apa betul?" Syamsul menjawab dengan
sangat tenang.
"Benar Pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji
yang datang tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia
tidak ada background pesantrennya. Saya ingin guru
ngaji yang pemah belajar di pesantren."
"Kebetulan saya dulu pernah nyantri di Kediri. Asli
saya dari Pekalongan Pak Broto. Sekarang saya tinggal
di perumahan di Parung bagian barat."
"O ya...ya...ya. Alhamdulillah kalau begitu.
Semoga si Delia mau. Sekarang tinggal Della-nya mi. Oh
ya nama Pak Ustadz siapa ya? Saya lupa?"
Syamsul ingin tertawa. Belum pernah bertemu tapi
merasa sudah kenal. Kadang orang kaya itu aneh.
"Nama saya Syamsul, Pak Broto."
"O ya..ya...ya. Saya panggilkan Delia dulu. Biar
segera clear urusannya."
Pak Broto lalu masuk memanggil-manggil anaknya.
Tak lama, ia kembali keluar bersama anak putri berumur
enam tahun.
"Ini Dik Delia ya?" sapa Syamsul dengan ramah.
"Iya." Jawab Delia acuh tak acuh.
"Kenalkan nama kakak Syamsul, panggil Kak
Syamsul."
"Kak Syamsul mau jadi ustadz Delia ngaji ya?"
"Iya. Itu jika Delia mau berteman dengan Kak
Syamsul."
"Kak Syamsul bisa nyanyi nggak. Soalnya Delia
inginnya tuh ustadz Delia juga yang pinter nyanyi."
"Uda Delia ingin, Kak Syamsul nyanyi apa?"
"Coba Kak Syamsul nyanyi lagu daerah dari
Kalimantan!"
"Wah kalau itu mah kecil. Nih dengerin baik-baik
ya Delia:
Ampar-ampar pisang pisangku belum masak.
Masak bigi dihubung bari-bari.
Mangga lepak mangga lepak
Patah kayu bengkok..
Syamsul lalu menyanyi dengan semangat. Delia lalu
ikut bernyanyi. Begitu lagu selesai, Delia langsung
berkata pada ayahnya,
"Saya mau ayah. Kak Syamsul pinter."
Pak Broto tersenyum, "Ya sudah kalau begitu. Ayah
mau bicara sama Kak Syamsul dulu ya. Kamu masuk
sana!"
Delia lalu masuk dengan berlari dan berteriak, "Hore
aku puny a ustadz pinter nyanyi...!"
"Alhamdulillah Pak Ustadz. Seperti yang Ustadz
dengar sendiri. Delia mau. Terus kontrak kita bagaimana?"
"Saya ikut aturan bapak saja. Saya tidak meragukan
profesionalitas Pak Broto."
Kening Pak Broto berkerut.
"Hmm baiklah. Saya samakan dengan privat
pianonya Delia saja ya Ustadz?"
"Saya ikut. Tolong dijelaskan detilnya."
"Satu minggu empat kali pertemuan. Satu pertemuan
satu setengah jam. Sehingga satu minggu ada enam jam.
Satu jamnya saya hargai seratus ribu. Jadi satu minggu
enam ratus ribu. Dan satu bulannya dua juta empat ratus
ribu. Kalau ada jam tambahan maka harga per jamnya
seratus ribu. Begitu Ustadz, bagaimana?"
"Sepakat."
"Terus pengaturan jamnya bagaimana, Ustadz?"
"Begini saja. Pak Broto saja yang bikin dengan
melihat jam kegiatan Delia. Insya Allah habis ini saya ke
masjid. Saya shalat Maghrib di masjid perumahan ini,
Insya Allah. Setelah shalat kita bicarakan di masjid
iadwalnya. Bagaimana Pak?"
"Baik Pak Ustadz. Baik."
"Kalau begitu saya pamit dulu."
Syamsul meninggalkan rumah itu dan pergi ke
masjid. Sambil menunggu ia berbincang-bincang dengan
penjaga masjid. Ia banyak mendapatkan info yang
berharga. Termasuk tentang penghuni rumah no.19 Jalan
Flamboyan. Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi
UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya seorang pengusaha di
bidang travel dan pariwisata. Namanya Pak Heru.
"Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya di
perumahan ini. Ia punya travel yang sudah punya
cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Cabang
travel-nya juga ada di Singapura, Malaysia dan Arab
Saudi." Begitulah penjaga masjid itu menerangkan.
"Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu
masjid sedikit. Masihbagusan Pak Broto yang tak pernah
hitungan kalau membantu."
Waktu Maghrib tiba. Jamaah berdatangan.
Penjaga itu yang azan dan iqamat. Saat shalat mau
didirikan penjaga masjid itu mempersilakan Syamsul
jadi imam. Syamsul ragu dan tidak mau. Tapi Pak Broto
yang sudah hadir memaksanya agar ia mau. Akhirnya
ia pun jadi imam. Dalam hati ia beristighfar sebelum
maju dan berkata, "Ya Rabbi apakah kau mau
menerima shalat hamba-hamba-Mu yang diimami
seorang pencopet?"
Ia shalat dengan membaca surat-surat pendek.
Bacaannya tartil. Satu tahun di pesantren cukup baginya
untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Usai
shalat ia berbincang-bincang dengan Pak Broto.
Kesepakatan-kesepakatan ten tang hari dan jam dengan
cepat tercapai. Di tengah asyiknya berbincang, Pak Heru
ikut nimbrung. Pak Heru bercerita tentang musibah yang
menimpa putrinya semata wayang,
"Sekali ini dia naik bus kota langsung kecopetan.
SIM, STNK, KTP, Kartu Mahasiswa hilang. Untung pas
tidak bawa ATM. Ia juga kehilangan empat ratus ribu."
Pak Broto diam mendengarkan. Demikian juga
Syamsul. Dalam hati Syamsul berkata, "Pak, si Copet
yang mencopet putri Bapak ada di depan Bapak."
Seorang jamaah yang mendengar dari kejauhan
mendekat sambil berkata, "Mungkin karena kurang
zakat kali, Pak."
"Masak? Kan tiap tahun harta saya sudah saya zakati
2,5 persen."
"Mungkin yang kurang infak shadaqahnya. Shadaqah
kan tolak balak. Bener nggak, Ustadz?"
Syamsul mengangguk.
Pak Heru terdiam. Syamsul harus minta diri pulang.
Sebab ia pinjam kendaraan Pak Abbas hanya sampai jam
delapan malam. Dalam perjalanan ia berniat untuk
taubat dan jadi manusia baik sungguhan.
****