Pabila laluan seakan sukar,Bagai tak terdaya untuk terus bertahan, Namun kasihMu menyedarkan, Aku tak pernah sendirian...
Followers
Saturday, August 2
Novel - Pudarnya Pesona Cleopatra 2
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ”
Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan?
Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.
Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku
dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang
wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya
belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki
diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang
kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu?
Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku
sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah
baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga,
disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.
“Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!
Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain.
Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku
menangis disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya
dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya,
saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang
tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana
yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak
pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya.
Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan
sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ”
Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku
ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang
cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku,
aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura
kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan
atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.
Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana
hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan
kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga
Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana
tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku
menemukan cinta” gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana
minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan
permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus
tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal
dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran
anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal,
no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja
aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan.
Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntahmuntah,
menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada
Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati
masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi
tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun
jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya
dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak
meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat
tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab.
Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang
dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi,
seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan
satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah
menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ”
Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak
santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana
dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ”
Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu,
tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”.
“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan
kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari
seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama
kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun
pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal
menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak
pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis
secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil
membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan
dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, samasama
menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al
Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam
pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang
tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah,
menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar
asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang
cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi
semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak
kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk
berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali namun Yasmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir
milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali
saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan
istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya
tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengen rendang, saya harus ke
warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada
sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang
lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak
mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
bersambung.....
Labels:
Novel
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment