Followers

Monday, November 17

Novel - Dalam Mihrab Cinta 'Takbir Cinta Zahrana'

HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan
iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari
dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan
orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya
sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang
terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia
mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut
teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia
dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di
universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa
Tengah: Semarang.

Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan
penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di
kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan
dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh
keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan
seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang
kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa
sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia
menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir
sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria.
Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan
sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa
tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa
tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian
mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu
mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh
Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe
lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi
pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya
banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga
punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali
bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB
Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan siYuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa
ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah
pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya
Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang
lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan
seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa
sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga
cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.
Ia meneteskan airmata.
Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia
tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak
lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi
tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang
kini banyak datang dan membuatnya menderita batin
yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah
hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata
prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari
pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga
bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin
menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,
semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang
yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik
tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidakterhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri
menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo
agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I.
Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus.
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes
di pipinya.
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara
serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,
bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yangdiinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik
nanti bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan
lupa dandan yang cantik."
Klik. Tanpa salam.
Kali ini yang datang melamarnya bukan orang
sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas
Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia
mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status
dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji.
Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak
usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom
bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana
untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia
sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata
bagaimana.
Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat
karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di
Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah
Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil
risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak
Karman itu. Apapun titel dan jabatannya. Moral adalah
nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang,
ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina.
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya
ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat
itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat
dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang.Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.
Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah
denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia
sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan.
Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati
selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman
pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam,
ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tibatiba
wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengan
sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe
ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman
datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya.
Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti
mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan
mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka
berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang
mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya
terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang
jadi penerus keturunan.
1 Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah,
Anakku?la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi
gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak
Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk
menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang
pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia
rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti
dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga
kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya
dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang
tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para
pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan
Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak
melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental
yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing
yang siap maju sidang membela mahasiswanya
mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan
kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau
muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis
bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil.
Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan
menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang
sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang
kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru duaorang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya
selama ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah
lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus
mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua.
Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman
untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak
menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius
ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk.
Terpaksa duduk di beranda.
la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin
tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi
dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya.
la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam
yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya
kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya
benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini
banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu
memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.
Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman
menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak
lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam
membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya,
mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak
Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak
bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya
memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara.
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkansuasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang ibu-ibu yang rapi berkerudung.
"Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini
dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya
Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan
tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar
hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan
gaya lucu,
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus
mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting
bidadari."
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang
hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu
menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah
yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana
mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja
tidak mau ia dengar.
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,
juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk
menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan
keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting
putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara
kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya
jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."
Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang
terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan
rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami jugabahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya
dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun
masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri kami
sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada
kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri mana yang
baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke
arahnya. la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah
sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha
untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad
Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan.
Tergesa-gega itu datangnya dari setanl' Saya tidak mau
tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun.
Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya
untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan
langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya
hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab
sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto
dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa
bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum
tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana
arah perkataan putrinya itu.
Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana
langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untukdisampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan
senyum yang susah diartikan.
* * *
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk?
Pak Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan
dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya
yang sudah tahu keputusannya.
"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana
Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya.
Itu saja." Jawab Zahrana.
"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia
sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita
saja belum." Bantah ibunya.
Ia merasa, memang agak susah memahamkan
ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau
belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak.
Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang
lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang
bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi
kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan
kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung
dia ajak dialog masalah itu.
"Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang.
Saya sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus
dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya
menikah Bu."
Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan
"pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka
sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah,
tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat
rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua
yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau
gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya
kelak.
Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban
untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya
tegas dan lugas:
Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam
naungan hidayah-Nya.
To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya
belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak
mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum
dan mohon maaf jika tidak berkenan.
Wassalam,
Dewi Zahrana
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya
ke dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang
mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada PakKarman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan
mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti
tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat
mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang
tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan
kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala.
Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia
prediksi terjadi.
Dua hari kemudian ia mendapatkan SMS dari Pak
Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa
jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak.
Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap
huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya.
Lalu ia mendapat SMS dari Bu Merlin:
"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara
jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!"
Airmatanya meleleh.
"Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih.
Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding
kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya
seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa
pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap
kuat dan tegar di jalan-Nya.
* * *

Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim
jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia
masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik
serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya,
apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya
itu berkata,
"Zahrana, kamu memang bebas menentukan
pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa
maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat
kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melaku-
kan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman.
Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu."
"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah
berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak
Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat
menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia.
Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya
benar-benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya
tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi
monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama
sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir
zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon
ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar
dengan mengajak bicara dari hati ke hati.
"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di
muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa
saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak
mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana,
saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu
dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu.
Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah
membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau
mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah
Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak."
"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada
kaget.
"Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri
saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta
politik di kampus.""Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan
sampai titik darah penghabisan!"
"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta
politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika
kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat
untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah
sementara waktu. Ini yang kulihat baik
untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada
kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali
ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu
jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah
saya cium dari sekarang."
Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan
Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang
disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan.
Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat.
Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah,
"Baiklah Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan
matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."
"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu.
Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.
* * *
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan
rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya.
Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya:
Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika
masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah
yang harus ditempuh.Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai
sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling
akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu
orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.
"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada
Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang
jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar
saran Bu Merlin."
"Yang paling penting menurutku adalah, apa
kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?"
Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat
teman karibnya itu,
"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu
Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu
sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu
tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap
denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan
membuat perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan
diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan
membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat
posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di
Fakultas tempat kamu mengajar."
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa
yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru.
Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan
yang menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak
kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain
sebagainya."
Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri.
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan
diri."
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan
membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu
untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang
rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya
sesama dosen banyak yang kaget.
"Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak
lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga
harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen
mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling
dekat dengannya.
"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman
baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah
perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan
berkas-berkasnya.
"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?"
"Ya. Final."
"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami
sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak
pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin
kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para
dosen akan men-support-mu."
"Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama
ini banyak berbuat salah."
"Sama-sama."
Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat
pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu
mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat
barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi
berjilbab hitam.
"Nina!"
"Ya Bu Rana."
"Bisa bantu saya sebentar?"
"Bisa Bu."
"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang
kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."
"Baik Bu."
Ia lalu balik ke ruang kerjanya.
"Pak Didik?"
"Ya Bu Rana."
"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan
ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di
komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus saya minta
tolong dicarikan taksi."
"O bisa Bu."Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab,
dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka
Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan
diri dari kampus itu.
"Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif
di Lembaga Pers Kampus.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."
"Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" tanya
mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.
"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang
berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada
mahasiswa bernama Hasan.
"Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?"
tanya mahasiswa itu lagi.
"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu
Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan membantumu,
insya Allah."
"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?"
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke
rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang
wajah mahasiswanya satu per satu.
Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barangbarangnya
ke luar gedung. Tak lama taksi datang.
Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan
membawa seluruh barang-barangnya.
Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang
kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya:
tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!"
Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia
menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja
kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika
meluap, "Kurang ajar!"
Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tibatiba
malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan
Zahrana akan membuat keputusan nekat itu.
Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya
dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.
* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan
pekerjaan baru. Dari seorang teman ia
mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen,
Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang
profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah. Pesantren
besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan
lamaran dan hari itu juga ia diterima.
Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri
Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar
Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta
terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.
Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang
sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami
kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum
pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa
yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar
mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri
yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak
penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga
tidak penting.
Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran
bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak
akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting
adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan
dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan.
Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya.
la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih
menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat
dengan banyak ulama? Atau karena memang di
pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti
Pak Karman yang dalam pandangannya sangat-sangat
durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan
tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-benar hilang
tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan
sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering
didatangi mahasiswanya.
Yang masih sering datang adalah mahasiswanya
yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di
bawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas
pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan
teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi
dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan
mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri.
Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan
kampus dan memilih mengajar di STM Al
Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. Ia menjawab,
"Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan
para santri."
Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju.
Namun ia kemudian berusaha menghibur,
"Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di
lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan
jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh
yang Zahrana harap tidak juga datang."
Wajah ayahnya itu sedikit cerah,
"Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu
harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu
beliau bisa membantu menemukan jodohmu."
"Iya Yah. Mohon doanya terus."
"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu
siang dan malam, Anakku."
"Terima kasih Ayah."
***
Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak
didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak
berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat
apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang
menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan
membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.
Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering
beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk. Ia membukanya:
"Sedang apa perawan tua?"
"Ternyata jadi perawan tua itu indah."
"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi
daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror
paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan
menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak
ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata
yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa
menduga kira-kira dan mana SMS itu berasal. Akhirnya
ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS
itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh.
Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila.
Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu.
Internetnya sudah konek. Lima email dari temantemannya
sesama dosen. Semuanya menyayangkan
keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya
mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.
Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya.
Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya
sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata
pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni
kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang
terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih
asyik berselancar di dunia maya.
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email.
Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya
untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi
bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak
Didik mengirim email kepadanya. la buka email itu:
Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN.
Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran.
Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya
selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu.
Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini
mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin
mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa
sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya
mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran
kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan
lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara
lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan
bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang
Ibu. Juga apa yang Ibu cari selama ini saya memberanikan
diri mengajukan diri. Mengajukan diri untuk
menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya
menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap
lancang, untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin
isteri saya bisa menerimanya nanti.
Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang
sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri
yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan
yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya
meninggalkan dia.
Saya yakin dengan kita membina rumah tangga
bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi
dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga
ibu berkenan dengan harapan ini.
Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah
kata motion maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan
sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud
seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi
manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar,
mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan.
Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah
menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah
menjadi wanita.
Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah
duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit
menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada
perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga
tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka
semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia
sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap"
menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia
adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada
umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih
tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak
mau" dimadu.
la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya,
bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya
tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan
mengatakan kepadanya,
"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah
tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami
orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu
orang saja!"
Ia tidak tahu akan menjawab apa.
Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia
lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama
sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada.
Matanya masih berkaca-kaca.
* * *

No comments: